Sabtu, 17 Desember 2016

KEDUDUKAN TARIF DALAM DAKWAH





 KEDUDUKAN TARIF DALAM DAKWAH
Oleh :
Hida Tazkiatul Muktafa (1144030034)
Manajemen Dakwah V/A





BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Setiap usaha yang dilakukan manusia tentu mempunyai tujuan. Tuujuan tersebut dirumuskan sebagai nilai tertentu yang hendak diraih. Pada era globalisasi, banyak dai bermunculan terutama melalui media elektronik, sederet daipun banyak dikenal oleh media.
            Seiring berjalanya waktu, munculah persoalan tarif dai dengan harga yang mahal. Beberapa  ustadz terkenal, jika diundang oleh masyarakat bayarannya ditentukan harganya hingga mencapai 15 ratau bahkan 25 juta rupiah. Harga off air bisa lebih mahal dibandingkan dengan harga on air. Persoalan ini terletak pada nilai kegiatan dakwah yang semual murni ibadah, kini dijadikan untuk meraup rezeki atau meraup keuntungan material sebanyak-banyaknya. Maka disini peran ustadz untuk berdakwah bukan lagi sekedar untuk menyebar luaskan ajaran Islam, melainkan dijadikan sebagai sarana untuk mencari nafkah.
            Seseorang menjadi terkenal sebagai ustadz karena sering muncul di televisi. Usahanaya untuk menjadi terkenal tidak sia-sia, hidupnya menjadi sejahtera. Terkadang ukurannya bukan lagi  level ilmu yang dikuasai, akan tetapi ketenarannya. Ustadz-ustadz yang sudah go public itupun bahkan menggunakan semacam manajer bak para artis. Para manajer ini menetukan tarif dakwah mesti tidak sefulgar para selebritis, akhirnya jadilah profesi ustadz layaknya para artis yang  pasang tarif untuk ceramahnya, bermobil mewah, rumah megah, harta bertumpuk, dan segenap kemewahan lainnya.
            Ada juga seorang  ustadz yang diminta untuk ceramah agama disuatu tempat, lalu ia meminta bayaran  atau tawar menawar upahnya. Jika setuju, ceramahpun akan di laksanakan jika tidak maka disarankan untuk mencari ustadz lain yang harganya cocok. Seorang penceramah yang memasang tarif tertentu kepada pengundangnya akan berkurangnilai keberkahannya. Seoalh jasa seorang penceramah agama itu disamakan dengan jasa penghibur.
B.  RUMUSAAN MASALAH
1.         Bagaimana sebenarnya kedudukan tarif dalam dakwah ?
2.         Apakah pandangan para ulama mengenai hal pentarifan dakwah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pandangan Para Ulama Madzhab
Ada tiga pandangan berbeda mengenai pentarifan dakwah, antara lain :
1.    Madzhab Hanafi berpendapat, memungut imbalan dalam berdakwah hukumnya haram mutlaq, baik ada perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
2.    Imam Malik Bin Annas Imam Syafi’i membolehkan memungut biaya atau imbala dalam berdakwah, baik ada perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
3.    Alhasan Al-Basry, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi berpendapat, boleh memungut bayaran dalam berdakwah, akan tetapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
Pandangan para ulama tersebut bukan tanpa argumentasi, hal ini dikarenakan potensi perbedaan sudah tersedia dari sumber ajaran Islam. Beberapa argumentasi tersebut terbagi atas kelompok pro dan kontra terhadap penarifan dakwah.

B.       Argumentasi kelompok Pro Penarifan Dakwah
Para ulama mutakhirin menghalalkan pengambilan upah terhadap pekerjaan menyebarkan syari’at Allah. Mereka beralasan bahwa manusia saat ini sudah mulai memandang ringan dan meremehkan kedudukan Ulama bahkan mengabaikannya. Mereka senantiasa menyibukkan diri dengan urusan-urusan dunia serta hanyut dengan kemaksiatan dan kemewahan. Kesibukan tersebut sudah tentu akan memalingkan mereka dari mempelajari kitabullah dan ilmu-ilmu agama. Hal ini mengakibatkan putusnya penghafalan-penghafal Al-Qur’an dan lenyapnya ilmu agama dari orang-orang Islam secara perlahan. Apalagi upaya musuh-musuh untuk menghancurkan Islam, baik dari dalam maupun dari luar sudah sangat menghawatirkan.
Dengan situasi tersebut para Ulama Mutaakhirin menfatwakan boleh mengambil upah atau gaji dari pekerjaan mengamalkan Al-Qur’an dan ilmu agama. Malahan sebagian dari mereka mengatakan bahwa mengambil upah atau gaji dari pekerjaan menyebarkan syari’at Allah adalah wajib bagi para pemelihara ilmu agama.
Pada dasarnya, dalam hukum Islam, seseorang yang mengajarkan ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang bermanfaat berhak mendapatkan upah atas jasanya itu. Bahkan mengajarkan Al-Qur’an secara syar’i bisa dijadikan sebagai mas kawin atau mahar dalam pernikahan. Seorang guru/ustadz yang telah berjuang dijalan Allah akan mengajarkan ilmu-ilmu Islam, pada dasarnya memang berhak untuk mendapat upah atas keringatnya.
Para ustadz juga perlu pendapatan. Jika tidak, darimana dia akan menghidupi keluarganya yang merupakan kewajibannya. Sedangkan kalau mereka semua berhenti mengajarkan ilmu agama Islam dan beralih profesi menjadi pedagang dan lain-lain siapa lagi yang akan mengajarkan dan mempertahankan agama Islam. Karena itu, mereka berhak mendapatkan upah atas kerjanya yang sangat berharga. Di negara-negara Islam, profesi ustadz, pengajar, bahkan imam dan mu’adzin gajinya ditanggung oleh negara. Negara mendapatkan dana untuk menggaji mereka dari baetul mal dan dari uang zakat. Para khotib dan ustadz tidak langsung menerima upah dari murid atau orang yang mereka layani. Sehingga mereka tidak terkesan menjual ilmu dan do’a.
Berdasarkan riwayat Bukhori dan yang lainnya, ada sekelompok sahabat Rasulullah yang turun ke perkampungan. Kemudian kepala kampung tersebut terpatuk ular maka seorang sahabat membacakan ayat al qur’an yanf mulia kepadanya, dan alloh pun menyembuhkannya. Kemudian mereka mengambil upah atas hal tersebut. Mereka pun mengabarkab kejadian ini kepada Rosululloh, maka beliau bersabda kepadamereka:
“sesungguhnya pahala yang paling berhak kalian ambil atasnya adalah kitabulloh” ( HR.Bukhori : 5. :296).
Alasan lain penarifan dakwah adalah tuntutan profesionalisme, khususnya kemampuan dakwah yang tidak dapat di wakilkan kepada sembarangan orang. faktanya, tidak semua orang dapat berdakwah, dan jika di paksakan akibatnya akan terjadi perusakan. Orang yang menjatuhkan pilihan propesinya menjadi pandakwah merupakan pilihan berisiko, artinya ia akan mengabaikan tunutan lain untuk berdakwah.
Umat sebenatnya mersa terbantu dengan keberaddan para juru dakwah. Mereka adalah obor penerang, pengisi acara acara keagamaan, pemandu serta pelaksanaan ritual keagamaan, seperti dalam syukuran tradisi pernikahan, serahtima calon pengntin, pengisi ceramah tayakur, khutbah, dan lain lain.
C.      Argumentrasi kelompok konta penarifan dakwah
Argumen argumen syar’i yang digunakan oleh pihak yang menetapkan haram bagi da’i juka menrima atau mengambil u[ah dalam mengajarkan ai Quran, antara lain:
1.      Qs. As-syuara “ ayat109 yang berbunyi :
“dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”
2.      Q.S Yunus : 72 yang berbunyi :
“ jika kamu berpaling  dari peringatanku, Aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lainhanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri kepadaNya”
3.      Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Barang siapa mengambil sebuah busur saja sebagai upah dari mengajarkan Al-Qur’an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari kiamat” (HR. Baihaqi)
4.      Imron bin Hushain melihat seorang Qari yang sedang membaca Al-Qur’an lalu meminta upah. Beliau lantas mengucapkan istirja’, kemudian berkata “Rasulullah SAW bersabda ‘barangsiapa membaca Al-Qur’an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al-Qur’an, lalu meminta upahnya kepada manusia” (HR. At-Tirmidzi)
5.      Rasulullah SAW bersabda :
“Pelajarilah Al-Qur’an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai imbalannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya, ada 3 jenis orang yang mempelajari Al-quran. Orang yang memperlajari Al-quran untuk membangga-banggakan diri dengannya; orang yang mempelajarinya untuk  mencari makan; orang yang mempelajarinya karena Allah semata”
            Para ulama dahulu (ulama mutaqaddimin) mengharamka pengambilan upah dari mengajar Al-quran dan ilmu  agama.  Pengharaman ini berdasarkan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang  yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan dari keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkan dalam alkitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yanng dapat melaknati”(Q.S. Al-Baqarah : 159).
            Ayat di atas memerintahkan agar ilmu disebarkan dan tidak boleh disembunyikan sehingga pengambilan upah atasnya adalah haram.
Suatu ungkapan menyebutkan bahwa beramal dengan tujuan mendapatkan kenikmatan dunia hukumnya haram. Nabi Muhammad SAW bersabda : “barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya ia tuntut semata-mata karena agar bisa melihat wajah Allah, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka dia tidak akan dapat mencium wanginya surga pada hari kiamat”(H.R. Abu Daud)
            Ibnu Jamaah Al-kinani menasihatkan, “Hendaknya  seseorang yang  berilmu membersihkan ilmunya dari menjadikannya sebagai jalanmencapai tujuan-tujuan duniawi, baik unntuk mencari  kehormatan, harta, ketenaran, atau merasa lebih hebat  dari teman-temannya”.
Lebih khusus lagi, terdapat ayat yang ditunjukan kepada mad’u agar tidak mengapresiasi da’i yang memasang tarif dalam dakwahnya. Ayat tersebut sebagai mana tercantum dalam surat YAASIN ayat 1, berbunyi: “ikutilah orang yang tidak meminta upah kepadamu dan mereka mendapatkan petunjuk  dari Tuhannya”.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Ada tiga pandangan berbeda mengenai pentarifan dakwah, antara lain :
1.      Madzhab Hanafi berpendapat, memungut imbalan dalam berdakwah hukumnya haram mutlaq, baik ada perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
2.      Imam Malik Bin Annas Imam Syafi’i membolehkan memungut biaya atau imbala dalam berdakwah, baik ada perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
3.      Alhasan Al-Basry, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi berpendapat, boleh memungut bayaran dalam berdakwah, akan tetapi harus diadakan perjanjian terlebih dahulu.
            pada dasarnya seorang yang menyebarkan ajaran Agama sangat perlu akan penghargaan atas jasanya agar tidak diabaikan oleh para mad’unya, ketika bayarannya sesuai dengan professionalitas dan keikhlasan mad’u yang membayarnya, hanya untuk sekedar menggantikan biaya operasional da’i.
            Namun meskipun begitu di dalam realitas sosial yang ada pentarifan pada da’i masih ada yang kontra, akan tetapi para ulama yang pro berdalih ketika parapendakwah tidak diberikan upah ataupun professionalitas kerjanya dalam berdakwah, di khawatirkan para pendakwah akan berhenti dari mengajarkan ajaran Islam dan beralih profesi menjadi pewira usaha sehingga tak ada lagi yang mau menyebarkan ajaran Islam.

SISTEM RELIGI PADA MASYARAKAT PENGANUT KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN DI LEMBANG



SISTEM RELIGI PADA MASYARAKAT PENGANUT KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN DI LEMBANG

Laporan Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas individu Mata Kuliah Antropologi Budaya







 












Di susun oleh :
Hida Tazkiyatul Muktafa (1144030034)






Jurusan Manajemen Dakwah
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2015 M / 1437 H
 




BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Keberadaan agama dalam system social budaya tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan aspek budaya yang lain. Ekspresi religius ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai moral, system keluarga, ekonomi, hokum, politik, pengobatan, sains, teknologi, seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainnya. Tidak ada aspek kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia.
Dalam sejarahnya, definisi agama pertama kali dikemukakan oleh EB.Taylor (1832-1917), “religion is the belief in spiritual being” dan apa yang disebutkan EB.Taylor tersebut merupakan salah satu aspek dari agama. Haviland juga mengungkap bahwa agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang tidak dapat dipecahkan oleh teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan itu, orang berpaling kepada manipulasi kekuatan supernatural.
Emile Durkeim, menyimpulkan bahwa agama adalah system symbol dimana masyarakat bisa menjadi sadar akar dirinya; ia adalah cara berfikir tentang eksistensi kolektif. Agama tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusia. Selama masyarakat masih berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Masyarakat, bagaimanapun, akan tetap menghasilkan menciptakan agama. Konsepsi Durkheim ini sama seperti Geertz yang menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari system kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia. Selaras dengan itu, Geertz juga mengungkapkan bahwa agama adalah suatu system symbol yang berfungsi untuk mengkukuhkan suasana hati dan motivasi yang kuat dan mendalam pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan membungkus konsepsi itu dengan aura aktualitas yang bagi perasaan dan motivasi tampak realistis. Oleh karenanya, kepercayaan atau agama berfungsi untuk memberikan signifikansi pemaknaan, serta menawarkan penjelasan terhadap peristiwa-peristiwa dan pengalaman yang menyimpang dari tradisi. Di samping itu agama juga dapat memberikan suatu kriteria etis untuk menjelaskan diskontinuitas beberapa kelompok budaya tertentu.
Begitu banyak sumber daya kultural di negeri ini yang secara esensial mengandung spririt kebangsaan dan kemanusiaan, namun karena berbagai factor seolah menjadi hilang ‘ditelan’ pusaran sejarah. Tak dapat dipungkiri, imperealisme dan colonialisme selama ratusan tahun atas nusantara tercinta menyebabkan bangsa ini kehilangan jati dirinya dan tidak berkepribadian dalam budaya. Salah satu sumber daya kultural yang seolah terlupakan dalam peradaban nusantara kini adalah suatu ajaran yang merbasiskan pada agama warisan leluhur (karuhun) masyarakat Sunda atau Sunda Wiwitan. Kini, ajaran Sunda Wiwitan berkembang dalam berbagai varian, meskipun tetap bersumber dari substansi yang sama. Aliran Kepercayaan Perjalanan, adalah salah satu varian dari agama Sunda Wiwitan di masa sekarang.
Peneliti ingin mengulas dan mengetahui system religi yang terjadi pada masyarakat yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang berada di daerah Lembang. Dalam aspek system kepercayaannya, upacara keagamaannya, tempat-tempat sakral, dan sejarah berdirinya kepercayaan Sunda Wiwitan ini.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka peneliti ingin mengambil judul ” “ Sistem  Religi pada Masyarakat Sunda Wiwitan Lembang ”.

B.     Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam penjabaran dan penyelesaianya, maka permasalahannya perlu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah berdirinya kepercayaan Sunda Wiwitan Lembang?
2.      Bagaimana cara peribadatan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan?
3.      Bagaimana tradisi masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan Lembang?

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.         Untuk mendeskripsikan Sistem  Religi Sunda Wiwitan di Lembang, Jawa Barat.
2.         Untuk mengetahui tradisi masyarakat penganut Sunda Wiwitan.
3.         Untuk mengetahui sejarah berdirinya kepercayaan Sunda Wiwitan.

D.    Manfaat atau Kegunaan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.         Aspek keilmuan (teoritis) yakni sebagai sumbangan pikiran atau masukan bagi penimba ilmu pengetahuan terutama Mahasiswa Manajemen Dakwah dalam rangka menambah khazanah keilmuan, khususnya di bidang Antropologi Budaya.
2.         Aspek terapan (praktis) yakni dapat dijadikan sebagai bahan penyusun hipotesa bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan masalah Sistem Religi.

E.     Metode Penelitian
Metode penelitian adalah salah satu metode dengan alat apa dan prosedur secara berurut bagaimana penelitian dilakukan, karena metode penelitian akan menuntut penelitian itu dilakukan serta merupakan pedoman dalam melakukan penelitian tersebut. Adapun komponen-komponennya yaitu :
1.      Jenis dan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat, dan juga menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dalam pengumpulan data dan penafsiran hasilnya tidak menggunakan angka.
Dengan demikian, penulis menggunakan penelitian kualitatif deskriptif yang merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati tanpa menggunakan angka dalam pelaporan tertulis.
2.      Subyek dan Obyek Penelitian
            Salah satu dimensi lain dari system religi yang sangat berpengaruh bagi masyarakat penganut kepercayaanSunda Wiwitan menentukan bagi keberlangsungan eksistensi kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kemampuan     seorang melestarikan kepercayaan dalam mengefektifkan Sistem  religi dalam         mempengaruhi perilaku masyarakat supaya sasaran utama kepercayaan tersebut tercapai,    menyadari uniknya Sistem Religi dalam kehidupan Masyarakat Sunda Wiwitan dalam menjalani kesehariannya, maka peneliti tertarik untuk         menjadikan Sistem Religi pada masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan dan tradisi peribadatannya sebagai objek penelitian sekarang.
Sedangkan untuk memperoleh data tentang analisis Sistem Religi pada Masyarakat Sunda Wiwitan,    maka yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah komunitas penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di Ngamprah, yaitu sesepuh masyarakat, beberapa anggota Sunda Wiwitan dan lain         sebagainya yang terkait dengan analisis Sistem Religi Masyarakat Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan.
a.        Jenis Data
Data adalah bahan keterangan tentang sesuatu objek penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data kualitatif yang diungkapkan dalam bentuk kalimat serta uraian-uraian dari hasil penelitian yang dilakukan. Misalnya, berupa interview atau dokumentasi yang dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan walaupun tidak menggunakan angka.
b.        Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Dalam penelitian ini peneliti memperoleh data dari 2 sumber, yaitu :
a.          Sumber data utama (primer), adalah sesepuh masyarakat Sunda Wiwitan Lembang
b.         Sumber data penunjang (sekunder) adalah data yang dihimpun        melalui buku, artikel, ataupun website.

3.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.  Metode Observasi
Menurut Sutrisno Hadi, metode observasi biasanya diartikan sebagai suatu proses yang kompleks antara pengamatan dan ingatan sistematik tantang fenomena-fenomena yang diselidiki sehingga tersusun dari berbagai proses biologi dan phsikologik. Sedangkan M. Nazir menambahkan bahwa pengumpulan data dengan metode observasi adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa adanya bantuan alat standar lain untuk keperluan tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa observasi adalah merupakan teknik atau metode untuk mengadakan penelitian dengan cara mengamati langsung terhadap kejadian dari lapangan dan hasilnya dicatat secara sempurna. Metode ini juga digunakan oleh penulis untuk memperoleh data tentang:
1.    Profil Sunda Wiwitan yang meliputi: sejarah berdirinya masyarakat Sunda Wiwitan, Tokoh Sunda Wiwitan.
2.    Sistem  Religi Sunda Wiwitan di Lembang Jawa Barat.
3.    Berbagai macam tradisi yang dilakukan oleh penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Dengan demikian peneliti terjun langsung ke lapangan atau pada sebuah lingkungan masyarakat dengan mengadakan pengamatan (melihat, mendengar, dan bertanya) dan mencatat keadaan yang terjadi pada masyarakat tersebut.
b. Wawancara (interview)
Wawancara merupakan sebuah alat pengumpul informasi dengan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk menjawab secara lisan pula. Senada dengan itu, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu antara pewawancara (interviewer) dan yang diwawancarai (interviewee).
Sehubungan dengan kebutuhan penelitian ini dalam menggunakan metode interview peneliti menggunakan beberapa pendekatan interview, yaitu:
1)  Interview bebas yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat pada data apa yang akan dikumpulkan. Hubungan interviewer dan interviewee dalam suasana biasa dan wajar. Interview bebas berguna untuk mendapatkan data dari para guru yang ada di lembaga bersangkutan.
2)  Interview terpimpin yaitu interview yang dilakukan pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci, keluwesan untuk mengadakan pertanyaan pendalaman terbatas. Wawancara ini dilakukan untuk mengurangi sedapat-dapatnya variasi atau yang kemungkinan bisa terjadi pada informan yang jumlahnya lebih dari satu. Data yang diambil dengan teknik wawancara meliputi: hasil pengamatan langsung tentang Sistem Religi pada masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan Lembang.

  1. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan memanfaatkan dokumen (bahan tertulis  atau gambaran-gambaran penting/ film) yang mendukung obyektivitas penelitian. Peneliti menggunakannya untuk mengetahui tentang keadaan masyarakat Sunda Wiwitan dan bagaimana lingkungan, serta sarana dan prasarana komunitas penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Tentang Sistem Religi Sunda Wiwitan Lembang
1.      Definisi Religi
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta agama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah agama yang evaluatif (menilai). Ia “angkat tangan” mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini ia hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluknya.
Dalam kaitan ini harus ditegaskan lagi bahwa aliran fungsionalisme dengan sengaja dan sebagai prinsip memberikan sorotan tersendiri serta tekanan khusus atas apa yang ia lihat dari agama. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi), agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondinal. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga bakat eksistensi dan fungsi agama (agama-agama) cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani) dapat terwujud.
Menurut William James, definisi tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat universal, sosial dan institusional yang justru merupakan perhatian utama sarjana sosiologi.
Agama dipandang dari segi keadaan manusianya adalah gejala yang begitu sering “terdapat di mana-mana” sehingga sedikit membantu usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.

2.      Definisi Sistem Religi
Pengertian ilmu antropologi terhadap religi sejak lama, ketika antropologi belum ada. Dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan. Mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan-tulisan etnografi mengenai suku-suku bangsa itu. Kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh dumia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada 2 hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu :
1)      Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur kebudayaan yang Nampak paling lahir;
2)      Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mulanya religi.
Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat. Suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-upacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan di Eropa itu sendiri, yakni agama Nasrani, hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena keanehannya itu menarik perhatian. Masalah asal-mula dari suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi dari padanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna, untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya.
Dalam usaha memecahkan masalah asal mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia dalam zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka berada pada tingkat primitif.

B.     Hasil Penelitian
Berikut merupakan hasil analisis peneliti terhadap masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan Lembang (kesimpulan  hasil wawancara dengan narasumber : Kang Ayi, & Eden)
1.      Identitas Masyarakat Sunda Wiwitan Lembang
a.       Nama Kepercayaan           : Sunda Wiwitan
b.      Alamat                              : Kmp.Cicalung RT02/RW08
DsWangunharja Kec.Lembang
Kab. Bandung Barat 20391
c.       Pemangku Adat                : Ujang Asip, Kang Ayi, Eden
d.      Tokoh                                : Mei Kartawinata

2.      Sejarah Singkat Berdirinya Sunda Wiwitan
Aliran Perjalanan (Sunda Wiwitan) muncul pada tanggal 17 September 1927 di Cimerta, Subang. Ajaran ini bersumber dari pemikiran Mei Kartawinata. Beliau menggagas ajaran Perjalanan sebagai hasil dari kontenplasinya yang mendalam terhadap situasi alam, khususnya air. Dalam mengembangkan ajarannya, Kartawinata dibantu oleh dua sahabatnya, Sumitra dan Rasyid.
Nama ‘Perjalanan’ yang digunakan oleh Mei Kartawinata memang mengandung makna filosofi. Hal ini berdasarkan pada pengamatan beliau terhadap ‘perjalanan’ air sungai Cileuleuy yang mengalir menuju hilir (lautan). Dalam perjalanan tersebut, aliran air itu telah banyak mendatangkan manfaat bagi kehidupan para penghuni alam seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Esensi inlah yang ingin diadopsi oleh Mei Kartawinata dalam mengembangkan ajarannya, bahwa kita sebagai manusia haruslah memberikan mafaat bagi alam sekitar kita selama ‘perjalanan’ manusia ‘mengaliri’ dinamika kehidupan. Kenyataannya, banyak lagi istilah yang digunakan oleh berbagai pihak untuk menamakan ajaran Kartawinata ini, seperti Agama Buhun, Sunda Wiwitan, Agama Pancasila serta Agama Kuring. Sebagai catatan, istilah agama Kuring lebih banyak diartikan sebagai suatu stigma dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ajaran Kartawinata.

3.      Biografi Mei Kartawinata
Dalam buku Teologi Kebatinan Sunda karya peneliti UIN Sunan Gunung Djati, Abdul Rozak, disebutkan bahwa tokoh yang dikenal sebagai spiritualis ini lahir Di Bandung pada tanggal 1 Mei 1898. Konon beliau masuh keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi dari Pajajaran (garis ibu). Kondisi masyarakat Sunda dan nusantara secara umum yang terkurung dalam alam penjajahan Eropa ketika menimbulkan keprihatinan itulah yang memicu keinginan beliau untuk terjun ke dunia pergerakan nasional demi mencapai kemerdekaan.
Menurut para penganut ajaran Mei Kartawinata dimasa pergerakan nasional beliau sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang berideologi Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu sumber, sang spiritualis adalah kawan diskusi Bung Karno mengenai berbagai hal yang menyangkut politik dan ideology, termasuk mengenai ideology Indonesia bila merdeka kelak. Kedekatan dengan kalangan Marhaenis itulah yang mendorong beliau bersama beberapa tokoh lainnya seperti J.B.Assa mendirikan Partai Persatuan Rakyat Marhaenis Indonesia (Partai Permai) pada tahun 1945. Nama Partai ini tentu tidak asing bagi mereka yang mengalami dinamika politik diera demokrasi liberal tahun 1950-an. Pada pemilu Konstituante 1955, Partai Permai berhasil mendapatkan dua kursi dalam lembaga itu.
Selain berkecimpun dalam pergerakan politik, seperti yang telah dibahas sebelumnya, Mei Kartawinata juga mengembangkan konsepsi spiritual yang berbasis ajaran Sunda Wiwitan, yang ia namakan aliran Perjalanan. Aliran ini berintikan pada tiga hal, yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berbasiskan persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation building. Sebagai pedoman bagi para pengikutnya, beliau menulis beberapa buku yang berisi hasil pemikirannya mengenai hakekat kehidupan manusia di dunia. Salah satu buku yang terpenting adalah Budi Daya. Buku ini sering kali dianggap sebagai kitab suci bagi para pengikut aliran Perjalanan oleh banyak pihak, meskipun para penganut ajaran Mei Kartawinata sendiri tidak menganggapnya demikian.
Dalam buku Budi Daya, disebutkan makna dari masing-masing sila dalam Pancasila. Sila KeTuhanan Yang MahaESA diartikan sebagai “daya kaula”, sila Kemanusiaan bermakna “badan kaula”, sila Kebangsaan maknanya “bakat kaula”, sila Kedaulatan Rakyat berarti “darah kaula”, serta sila Keadilan Sosial memiliki makna “kacukupan kaula”. Jadi dalam arti lain, peran Pancasila dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai pemberi kekuatan dan energy bagi rakyat dalam mencapai kesejahteraan bersama seluruh rakyat (kacukupan kaula).
Menurut ajaran Mei Kartawinata, kekuatan untuk mencapai kesejahteraan bersama tersebut tiada lain adalah sesuatu paduan seluruh insan masyarakat atau masyarakat gotong royong. Hal ini serupa dengan konsepsi Bung karno mengenai sosialisme Indonesia. Tampak adanya benang merah antara Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan perspektif kebangsaan dalam ajaran Kartawinata.
Bila ditelaah, ajaran Kartawinata memang sangat sosialistis. Dalam ajaran tersebut dianjurkan agar manusia menempuh cara hidup sosialistis yang tidak individualis. Beliau juga mengintrodusir bentuk masyarakat sosialis yang setiap anggota masyarakatnya harus dapat menyatukan kepentingan dirinya sebagai individu dalam kepentingan masyarakat secara luas. Di sisi lain, kepentingan dan potensi individu akan dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Inilah yang menjadi artikulasi dari makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ketika setiap insan menjadi penggerak system/bangunan kemasyarakatan secara aktif dan kreatid bagaikan darah yang menjadi penggerak atau pemberi daya bagi manusia secara jasmaniah.

4.      Sunda wiwitan
Sunda wiwitan merupakan sebuah agama atau kepercayaan yang melakukan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animism dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional sunda. Akan tetapi, ada sebagian orang yang berpendapat bahwa agama sunda wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu diatas para dewata dan hyang dalam pantheonya yang terdapat dewa tunggal tertinggi Maha Kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang mereka samakan dengan Tuhan Yang MahaEsa.
Ajaran sunda wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksakanda ng Karesian, yaitu sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan, dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh perpustakaan nasionak Indonesia.

5.      Kepercayaan Sunda Wiwitan
Sunda wiwitan di lembang mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Masyarakat sunda wiwitan Lembang tidak menginginkan kepercayaan mereka disebut agama, karena mareka menganggap bahwa agama adalah sebuah komunitas yang memiliki perbedaan dalam melakukan ritual peribadatan, sedangkan cara ritual mereka dengan memberikan sesajen kepada alam adalah karena menurut mereka alam telah memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka mengklasifikasikan dalam 4 elemen unsur alam yang kepada masing-masing elemen itu berbeda dalam cara mereka melakukan ritual berterima kasihnya, yaitu : air, api, tanah, dan angina. Kepada 4 elemen inilah mereka memberikan sesajen dalam acara tertentu dengan cara yang berbeda-beda sebagai ungkapan terimakasih mereka.
6.      Filosofi Sesajen
Sesajen adalah singkatan dari sing-sa-ajen sa-aji sa-pangarti. Tidak hanya kelompok penghayat saja yang melakukan ritual sesajen tersebut, tetapi juga diluar penghayat pun bisa melakukan sesajen tersebut karena tujuan penghayat untuk melakukan ritual tersebut, hanya mengucapkan rasa syukurnya terhadap alam. Ritual sesajen apapun tidak lepas dari sesajen. Sesajen yang biasa digunakan oleh masyarakat sunda wiwitan ada 13 macam, dan menurut mereka masing-masing sesajen memiliki makna tersendiri. Diantaranya :

a)      Parukuyan
Parukuyan berasal dari kata paru yang berarti sumber atau puser. Symbol parukuyan kendi ada yang berwarna merah, putih, kuning dan hitam. Menurut mereka masing-masing warna memiliki arti tersendiri.
b)      Menyan/kemenyan
Menyan berasan dari kata satemen na sing nyaan yang artinya kita harus bersungguh-sungguh dalam melakukan segala sesuatu, tidak boleh asal-asalan.
c)      Kopi
Kopi yang mengandung rasa manis dan pahit memiliki arti yang berarti kehidupan yang harus dilalui dengan suka dan duka. Kopi tersebut disimpan didalam tempurung kelapa.
d)     Tempurung kelapa
Tempurung kelapa diibaratkan sebagai kepala kita. Tepat berfikir manusia.
e)      Rujak tujuh warna
Rujak tujuh warna yang isinya berbagai macam buah-buahan melambangkan dalam tujuh hari pasti merasakan berbagai macam rasa/ situasi seperti manis, asam, asin, bahkan pahit.
f)       Kembang tujuh warna
Kembang tujuh warna melambangkan bahwa didalam diri kita ada tujuh panca indera, yaitu :
-          Mata dengan penglihatannya
-          Telinga dengan pendengarannya
-          Hidung dengan penciumannya
-          Lidah dengan pengecap rasanya
-          Kulit dengan perabaannya
-          Tangan dengan kemampuannya
-          Kaki dengan langkahnya
Panca indera yang tujuh ini harus digunakan dengan cara saling tolong menolong, mengayomi, dan saling membantu satu sama lain.
g)      Kelapa muda ditambah gula merah
Kelapa muda : kudu ngarasa, rumasa, narima, tong sarakah. (harus tau diri, manerima segala ketentuan dan tidak boleh serakah)
Gula merah : harus memberikan kesan yang baik kepada orang disekitar kita.
h)      Garam
Ucapan dan perbuatan kita harus memiliki manfaat baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain.
i)        Puncak manih
Puncak manih ini berupa nasi dari ketan yang dibuat seperti nasi tumpeng diatas baskom yang diatasnya disimpan telur. Arti filosofisnya jika kita memiliki tujuan maka kita dalam mencapai tujuan itu harus dengan tekad yang bulat tidak boleh goyah. Ketan artinya harus kuat dalam menganut sebuah keyakinan.
j)        Kupat dan leupeut
Kupat yang memiliki 5 sudut yang berarti 5 poin pancasila. Leupeut yang memiliki 4 sisi yang disatukan dalam sebuah ikatan artinya harus menyatukan antara lahir dan batin.
k)      Tantang angin
Tantang angin yang dibuat dari nasi yang dibungkus dengan daun bambu (asal wiwitan). Tantang angina memiliki 3 sudut yang melambangkan saya hidup ditengah Negara, rakyat dan pemerintah.
l)        Buah-buahan
Buah-buahan melambangkan ungkapan terima kasih kepada yang telah memberikan kesehatan, sifat jujur, dan kebenaran. Kita harus seperti buah-buahan yang memiliki banyak manfaat bagi orang lain.
m)    Tumpeng
Tumpeng melambangkan dalam menjalin gotong-royong, harus benar-benar bekerja sama agar bisa terpetik hasil baiknya.

7.      Tradisi Sunda Wiwitan
Tradisi sunda wiwitan di Lembang, diantaranya :
a.       Ngaruat lembur dalam rangka tahun baru Shaka
Ngaruat lembur yaitu salah satu perayaan tahun baru yang dinamakan tahun shaka, tahun saha kadalah tahun baru bagi penganut sunda wiwitan yang dirayakan bertepetan pada setiap tanggal 1 Mei, yang mana pada tahun 2015 ini sudah bertepatan pada tahun 1948 warsih (tahun)
b.         Ngarak ka cai (iring-iringan) menuju kampung Seke
Arak-arakan atau iring-iringan yang diselenggarakan oleh sunda wiwitan Lembang ini bertujuan untuk memberikan sesajen sebagai ungkapan terima kasih kepada leluhur mereka. Arak-arakan tersebut dimulai dari tempat ngaruat lembur menuju kampung seke. Di kampung Seke tersebut terdapat sumber mata air yang menjadi tujuan utama mereka dalam menyelenggarakan ritual Ngarak ka cai.
c.       Bekerja di lading dan sawah
Tradisi ini sebagai bentuk terima kasih kepada sang hyang atas pemberian alam yang melimpah dan mereka memanfaatkan pemberian tersebut dengan cara bercocok tanam setiap hari.
d.         Perayaan 17 September
Perayaan 17 September diadakan dalam rangka perayaan moment penting bagi Meikartawinata dan tentu bagi pengikut-pengikutnya. Karena dari sanalah awal kebangkitan kembali kesadaran akan ajaran welas asih (memandang kepada orang lain sama baiknya seperti memandang kepada diri kita sendiri, hidup rukun dengan sesama).
e.       Ngaguar ajaran
Ngaguar ajaran merupakan salah satu tradisi sunda wiwitan di Lembang. Tradisi ini dilakukan pada setiap Rabu malam Kamis yang bertujuan memberikan pengarahan atau siramah rohani kepada penghayat dan juga kajian-kajian penghayat tentang tata cara hidup penghayat.

8.      Peribadatan Sunda Wiwitan
Masyarakat Sunda Wiwitan menyebut dirinya sebagai penghayat. Sebenarnya, dari dulu juga penghayat sudah diakui oleh masyarakat lain, hanya saja mungkin karena tertelan oleh zaman sehingga penghayat dianggap sudah hilang/punah. Dalam penghayat tidak ada system dakwah atau penyebaran secara meluas. Penyebaran tidak diharuskan dalam system keturunan, namun apabila dirinya merasa termasuk suku Sunda maka hal itu sudah tidak perlu didakwahkan lagi. Oleh karena itu, kemajuan dan kemunduran kepercayaan penghayat sangat terlihat karena tidak adanya system dakwah tersebut.
Dalam system peribadatan penghayat, ia mengutamakan mengungkapkan rasa terimakasih kepada alam. Dikarenakan seluruh alam dunia tidak akan lepas dari empat unsur yang telah disebutkan tadi. Secara tidak langsung mereka bersyukur kepada sang pencipta yang mereka sebut ‘Gusti’ yang telah melimpahkan kekayaan alam kepada mereka setiap harinya. Sehingga mereka bisa melangsungkan hidup dan diberikan kesehatan disebabkan oleh alam –anggapan mereka--.
Penghayat juga mengajarkan untuk menghormati dan menghargai orangtua, karena menurut mereka jika bukan karna orangtua kita, kita tidak mungkin ada didunia ini. Orang tua adalah jembatan sehingga kita bisa melangsungkan hidup hingga detik ini. Menurut BPNP penganut penghayat diseluruh Indonesia sudah mencapao 12 juta jiwa.
Rumusan penghayat :
-          Menghargai alam
-          Menghargai dunia
-          Menghargai orang tua
-          Menghargai leluhur, karena jika tidak ada laluhur maka tidak aka nada orang tua kita.
Perbedaan penghayat dengan yang lain lain
1.      Penghayat adalah suku Sunda yang diakui oleh Indonesia.
2.      Pakaian penghayat yaitu kampret dan iket yang merupakan salah satu baju adat Jawa Barat.
3.      Perayaan hari raya berbeda dengan yang lain. Perayaan hari raya di Sunda Wiwitan adalah pada tanggal 17 September, 1 Mei, 1 Syuraa, dan tahun baru shaka.

9.      Asal Usul Manusia Menurut Ajaran Sunda Wiwitan
Menurut penghayat, manusia berasal dari 4 unsur yakni api, angin, tanah, dan air. Orang tua hanyalah menjadi jembatan atau preantara dalam proses manusia tersebut. Dan kembalinya pun akan ke empat elemen alam tersebut. “Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal” kalimat tersebut menjadi nama lain dari bahasa kematian. Karena kematian dan asalnya manusia pun sama dari empat elemen tadi. Mereka menganggap surga hanyalah omongan kosong belaka. Menurut mereka karena kita berasal dari alam maka akn kembali pun bukan ke surge melainkan kea lam asalnya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber yaitu Kang Ayi dan Kang Eden sebagai juru bicara masyarakat Sunda Wiwitan di Lembang dapat disimpulkan  diantaranya :
1.      Sunda wiwitan di lembang mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Masyarakat sunda wiwitan Lembang tidak menginginkan kepercayaan mereka disebut agama, karena mareka menganggap bahwa agama adalah sebuah komunitas yang memiliki perbedaan dalam melakukan ritual peribadatan, sedangkan cara ritual mereka dengan memberikan sesajen kepada alam adalah karena menurut mereka alam telah memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup mereka.
2.      Dalam system peribadatan penghayat, ia mengutamakan mengungkapkan rasa terimakasih kepada alam. Dikarenakan seluruh alam dunia tidak akan lepas dari empat unsur yang telah disebutkan tadi. Secara tidak langsung mereka bersyukur kepada sang pencipta yang mereka sebut ‘Gusti’ yang telah melimpahkan kekayaan alam kepada mereka setiap harinya.
3.      Masyarakat Sunda Wiwital Lembang memiliki tradisi tersendiri, diantaranya :
Tradisi sunda wiwitan di Lembang, diantaranya :
a.       Ngaruat lembur dalam rangka tahun baru Shaka.
b.      Ngarak ka cai (iring-iringan) menuju kampung Seke.
c.       Bekerja di ladang dan sawah sebagai rasa terimakasih terhadap alam.
d.      Perayaan 17 September.
f.     Ngaguar ajaran.


































DAFTAR PUSTAKA

Ekadjati, Edi S., 1995. Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta : Pustaka
Jaya.
James, William. 1937. The Variaties od Religious Experience. New York : Library. Inc.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Nottingham, Elizabeth K. 1994. Agama dan Masyarakat. Jakarta : Raja Grafindo.
O.C., D. Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta : Konisius.
Soekanto, Soejono. 1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta : Ghalia
Indonesia