SISTEM RELIGI PADA MASYARAKAT
PENGANUT KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN DI LEMBANG
Laporan
Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas individu Mata Kuliah Antropologi
Budaya
Di susun oleh :
Hida Tazkiyatul
Muktafa (1144030034)
Jurusan Manajemen
Dakwah
Fakultas Dakwah
dan Komunikasi
Universitas Islam
Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2015 M / 1437 H
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan
agama dalam system social budaya tidak hanya ditemukan dalam setiap masyarakat,
tetapi juga berinteraksi secara signifikan dengan aspek budaya yang lain.
Ekspresi religius ditemukan dalam budaya material, perilaku manusia, nilai
moral, system keluarga, ekonomi, hokum, politik, pengobatan, sains, teknologi,
seni, pemberontakan, perang, dan lain sebagainnya. Tidak ada aspek kebudayaan
lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan manusia.
Dalam
sejarahnya, definisi agama pertama kali dikemukakan oleh EB.Taylor (1832-1917),
“religion is the belief in spiritual being” dan apa yang disebutkan
EB.Taylor tersebut merupakan salah satu aspek dari agama. Haviland juga
mengungkap bahwa agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku
yang tidak dapat dipecahkan oleh teknologi dan teknik organisasi yang
diketahuinya. Untuk mengatasi keterbatasan itu, orang berpaling kepada
manipulasi kekuatan supernatural.
Emile Durkeim,
menyimpulkan bahwa agama adalah system symbol dimana masyarakat bisa menjadi
sadar akar dirinya; ia adalah cara berfikir tentang eksistensi kolektif. Agama
tidak lain adalah proyeksi masyarakat sendiri dalam kesadaran manusia. Selama
masyarakat masih berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Masyarakat,
bagaimanapun, akan tetap menghasilkan menciptakan agama. Konsepsi Durkheim ini
sama seperti Geertz yang menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari system
kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka
interpretasi tindakan manusia. Selaras dengan itu, Geertz juga mengungkapkan
bahwa agama adalah suatu system symbol yang berfungsi untuk mengkukuhkan
suasana hati dan motivasi yang kuat dan mendalam pada diri manusia dengan
memformulasikan konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan membungkus
konsepsi itu dengan aura aktualitas yang bagi perasaan dan motivasi tampak
realistis. Oleh karenanya, kepercayaan atau agama berfungsi untuk memberikan
signifikansi pemaknaan, serta menawarkan penjelasan terhadap
peristiwa-peristiwa dan pengalaman yang menyimpang dari tradisi. Di samping itu
agama juga dapat memberikan suatu kriteria etis untuk menjelaskan
diskontinuitas beberapa kelompok budaya tertentu.
Begitu banyak
sumber daya kultural di negeri ini yang secara esensial mengandung spririt
kebangsaan dan kemanusiaan, namun karena berbagai factor seolah menjadi hilang
‘ditelan’ pusaran sejarah. Tak dapat dipungkiri, imperealisme dan colonialisme
selama ratusan tahun atas nusantara tercinta menyebabkan bangsa ini kehilangan
jati dirinya dan tidak berkepribadian dalam budaya. Salah satu sumber daya
kultural yang seolah terlupakan dalam peradaban nusantara kini adalah suatu
ajaran yang merbasiskan pada agama warisan leluhur (karuhun) masyarakat Sunda atau
Sunda Wiwitan. Kini, ajaran Sunda Wiwitan berkembang dalam berbagai varian,
meskipun tetap bersumber dari substansi yang sama. Aliran Kepercayaan
Perjalanan, adalah salah satu varian dari agama Sunda Wiwitan di masa sekarang.
Peneliti ingin
mengulas dan mengetahui system religi yang terjadi pada masyarakat yang
menganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang berada di daerah Lembang. Dalam aspek
system kepercayaannya, upacara keagamaannya, tempat-tempat sakral, dan sejarah
berdirinya kepercayaan Sunda Wiwitan ini.
Berdasarkan
deskripsi di atas, maka peneliti ingin mengambil judul ” “ Sistem Religi pada Masyarakat Sunda Wiwitan Lembang
”.
B.
Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam penjabaran dan penyelesaianya, maka
permasalahannya perlu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut :
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya kepercayaan Sunda Wiwitan Lembang?
2.
Bagaimana
cara peribadatan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan?
3.
Bagaimana
tradisi masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan Lembang?
C.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah :
1.
Untuk
mendeskripsikan Sistem Religi Sunda
Wiwitan di Lembang, Jawa Barat.
2.
Untuk
mengetahui tradisi masyarakat penganut Sunda Wiwitan.
3.
Untuk
mengetahui sejarah berdirinya kepercayaan Sunda Wiwitan.
D.
Manfaat atau Kegunaan Penelitian
Penelitian yang
akan dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.
Aspek
keilmuan (teoritis) yakni sebagai sumbangan pikiran atau masukan bagi penimba
ilmu pengetahuan terutama Mahasiswa Manajemen Dakwah dalam rangka menambah
khazanah keilmuan, khususnya di bidang Antropologi Budaya.
2.
Aspek terapan (praktis) yakni dapat dijadikan sebagai
bahan penyusun hipotesa bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
masalah Sistem Religi.
E.
Metode Penelitian
Metode
penelitian adalah salah satu metode dengan alat apa dan prosedur secara berurut
bagaimana penelitian dilakukan, karena metode penelitian akan menuntut
penelitian itu dilakukan serta merupakan pedoman dalam melakukan penelitian
tersebut. Adapun komponen-komponennya yaitu :
1.
Jenis dan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif yaitu studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat,
dan juga menggunakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dalam
pengumpulan data dan penafsiran hasilnya tidak menggunakan angka.
Dengan demikian, penulis menggunakan penelitian kualitatif deskriptif
yang merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
tanpa menggunakan angka dalam pelaporan tertulis.
2.
Subyek dan Obyek Penelitian
Salah
satu dimensi lain dari system religi yang sangat berpengaruh bagi masyarakat penganut
kepercayaanSunda Wiwitan menentukan bagi keberlangsungan eksistensi kepercayaan Sunda Wiwitan
adalah kemampuan seorang melestarikan
kepercayaan dalam mengefektifkan Sistem religi
dalam mempengaruhi perilaku masyarakat
supaya sasaran utama kepercayaan tersebut tercapai, menyadari uniknya Sistem Religi dalam kehidupan Masyarakat Sunda Wiwitan
dalam menjalani kesehariannya, maka peneliti tertarik untuk menjadikan Sistem Religi pada masyarakat
penganut kepercayaan Sunda Wiwitan dan tradisi peribadatannya sebagai objek
penelitian sekarang.
Sedangkan untuk memperoleh data tentang
analisis Sistem Religi pada Masyarakat Sunda Wiwitan, maka yang menjadi subyek
dalam penelitian ini adalah komunitas penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di
Ngamprah, yaitu sesepuh masyarakat, beberapa anggota Sunda Wiwitan dan lain sebagainya yang terkait dengan analisis
Sistem Religi Masyarakat Penganut Kepercayaan Sunda Wiwitan.
a.
Jenis Data
Data adalah
bahan keterangan tentang sesuatu objek penelitian. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan data kualitatif yang diungkapkan dalam bentuk kalimat
serta uraian-uraian dari hasil penelitian yang dilakukan. Misalnya, berupa
interview atau dokumentasi yang dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan walaupun
tidak menggunakan angka.
b.
Sumber Data
Sumber data
adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Dalam penelitian ini peneliti
memperoleh data dari 2 sumber, yaitu :
a.
Sumber
data utama (primer), adalah sesepuh masyarakat Sunda Wiwitan Lembang
b.
Sumber data penunjang (sekunder) adalah data yang dihimpun melalui buku, artikel, ataupun website.
3.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Metode Observasi
Menurut
Sutrisno Hadi, metode observasi biasanya diartikan sebagai suatu proses yang
kompleks antara pengamatan dan ingatan sistematik tantang fenomena-fenomena
yang diselidiki sehingga tersusun dari berbagai proses biologi dan phsikologik.
Sedangkan M. Nazir menambahkan bahwa pengumpulan data dengan metode observasi
adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa adanya bantuan alat
standar lain untuk keperluan tersebut.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa observasi adalah merupakan
teknik atau metode untuk mengadakan penelitian dengan cara mengamati langsung
terhadap kejadian dari lapangan dan hasilnya dicatat secara sempurna. Metode
ini juga digunakan oleh penulis untuk memperoleh data tentang:
1.
Profil
Sunda Wiwitan yang meliputi: sejarah berdirinya masyarakat Sunda Wiwitan, Tokoh
Sunda Wiwitan.
2.
Sistem Religi Sunda Wiwitan di Lembang Jawa Barat.
3.
Berbagai
macam tradisi yang dilakukan oleh penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Dengan demikian
peneliti terjun langsung ke lapangan atau pada sebuah lingkungan masyarakat
dengan mengadakan pengamatan (melihat, mendengar, dan bertanya) dan mencatat
keadaan yang terjadi pada masyarakat tersebut.
b. Wawancara (interview)
Wawancara
merupakan sebuah alat pengumpul informasi dengan sejumlah pertanyaan secara
lisan untuk menjawab secara lisan pula. Senada dengan itu, Lexy J. Moleong
mengatakan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu antara
pewawancara (interviewer) dan yang diwawancarai (interviewee).
Sehubungan
dengan kebutuhan penelitian ini dalam menggunakan metode interview peneliti
menggunakan beberapa pendekatan interview, yaitu:
1) Interview bebas yaitu
pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat pada data apa yang
akan dikumpulkan. Hubungan interviewer dan interviewee dalam
suasana biasa dan wajar. Interview bebas berguna untuk mendapatkan data dari
para guru yang ada di lembaga bersangkutan.
2)
Interview
terpimpin yaitu interview yang dilakukan pewawancara dengan membawa sederetan
pertanyaan lengkap dan terperinci, keluwesan untuk mengadakan pertanyaan
pendalaman terbatas. Wawancara ini dilakukan untuk mengurangi sedapat-dapatnya
variasi atau yang kemungkinan bisa terjadi pada informan yang jumlahnya lebih
dari satu. Data yang diambil dengan teknik
wawancara meliputi: hasil pengamatan langsung tentang Sistem Religi pada
masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan Lembang.
- Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan memanfaatkan
dokumen (bahan tertulis atau
gambaran-gambaran penting/ film) yang mendukung obyektivitas penelitian.
Peneliti menggunakannya untuk mengetahui tentang keadaan masyarakat Sunda
Wiwitan dan bagaimana lingkungan, serta sarana dan prasarana komunitas penganut
kepercayaan Sunda Wiwitan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Tentang Sistem Religi Sunda Wiwitan Lembang
1.
Definisi Religi
Agama menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada
Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran
kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata
"agama" berasal dari bahasa Sansekerta agama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah
religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya
dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Dengan kata
singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah agama yang evaluatif
(menilai). Ia “angkat tangan” mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya
agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini ia hanya
sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang
mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluknya.
Dalam kaitan
ini harus ditegaskan lagi bahwa aliran fungsionalisme dengan sengaja dan
sebagai prinsip memberikan sorotan tersendiri serta tekanan khusus atas apa
yang ia lihat dari agama. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain,
yang mengemban tugas (fungsi), agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik
dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondinal. Maka dalam tinjauannya
yang dipentingkan ialah daya guna, dan pengaruh agama terhadap masyarakat,
sehingga bakat eksistensi dan fungsi agama (agama-agama) cita-cita masyarakat
(akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani) dapat
terwujud.
Menurut William
James, definisi tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat
universal, sosial dan institusional yang justru merupakan perhatian utama
sarjana sosiologi.
Agama dipandang
dari segi keadaan manusianya adalah gejala yang begitu sering “terdapat di
mana-mana” sehingga sedikit membantu usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah.
Agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaannya sendiri dan keberadaan alam semesta.
2.
Definisi Sistem Religi
Pengertian ilmu antropologi terhadap religi sejak lama, ketika
antropologi belum ada. Dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan. Mengenai
adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah
menjadi suatu suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok
penting dalam buku-buku para pengarang tulisan-tulisan etnografi mengenai
suku-suku bangsa itu. Kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara
luas oleh dumia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu
sangat besar. Sebenarnya ada 2 hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu,
yaitu :
1)
Upacara
keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan unsur
kebudayaan yang Nampak paling lahir;
2)
Bahan
etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori
tentang asal mulanya religi.
Para pengarang
etnografi yang datang dalam masyarakat. Suatu suku bangsa tertentu, akan segera
tertarik akan upacara-upacara keagamaan suatu suku bangsa tertentu, akan segera
tertarik akan upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-upacara
itu pada lahirnya tampak berbeda sekali dengan upacara keagamaan di Eropa itu
sendiri, yakni agama Nasrani, hal-hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh,
dan justru karena keanehannya itu menarik perhatian. Masalah asal-mula dari
suatu unsur universal seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya
kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi dari padanya,
dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka
warna, untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi,
telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia
ilmiah pada umumnya.
Dalam usaha
memecahkan masalah asal mula religi, para ahli biasanya menganggap religi
suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi yang
kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia dalam zaman dahulu, juga oleh orang
Eropa ketika kebudayaan mereka berada pada tingkat primitif.
B.
Hasil Penelitian
Berikut
merupakan hasil analisis peneliti terhadap masyarakat penganut kepercayaan Sunda
Wiwitan Lembang (kesimpulan hasil
wawancara dengan narasumber : Kang Ayi, & Eden)
1.
Identitas Masyarakat Sunda Wiwitan Lembang
a.
Nama
Kepercayaan : Sunda Wiwitan
b.
Alamat : Kmp.Cicalung
RT02/RW08
DsWangunharja Kec.Lembang
Kab. Bandung Barat 20391
c.
Pemangku
Adat :
Ujang Asip, Kang Ayi, Eden
d.
Tokoh
: Mei
Kartawinata
2.
Sejarah Singkat Berdirinya Sunda Wiwitan
Aliran Perjalanan (Sunda Wiwitan) muncul pada tanggal 17 September
1927 di Cimerta, Subang. Ajaran ini bersumber dari pemikiran Mei Kartawinata.
Beliau menggagas ajaran Perjalanan sebagai hasil dari kontenplasinya yang
mendalam terhadap situasi alam, khususnya air. Dalam mengembangkan ajarannya,
Kartawinata dibantu oleh dua sahabatnya, Sumitra dan Rasyid.
Nama ‘Perjalanan’ yang digunakan oleh Mei Kartawinata memang
mengandung makna filosofi. Hal ini berdasarkan pada pengamatan beliau terhadap
‘perjalanan’ air sungai Cileuleuy yang mengalir menuju hilir (lautan). Dalam
perjalanan tersebut, aliran air itu telah banyak mendatangkan manfaat bagi
kehidupan para penghuni alam seperti hewan, tumbuhan dan manusia. Esensi inlah
yang ingin diadopsi oleh Mei Kartawinata dalam mengembangkan ajarannya, bahwa
kita sebagai manusia haruslah memberikan mafaat bagi alam sekitar kita selama
‘perjalanan’ manusia ‘mengaliri’ dinamika kehidupan. Kenyataannya, banyak lagi
istilah yang digunakan oleh berbagai pihak untuk menamakan ajaran Kartawinata
ini, seperti Agama Buhun, Sunda Wiwitan, Agama Pancasila serta Agama Kuring.
Sebagai catatan, istilah agama Kuring lebih banyak diartikan sebagai suatu
stigma dari pihak-pihak yang tidak menyukai perkembangan ajaran Kartawinata.
3.
Biografi Mei Kartawinata
Dalam buku Teologi Kebatinan Sunda karya peneliti UIN Sunan Gunung
Djati, Abdul Rozak, disebutkan bahwa tokoh yang dikenal sebagai spiritualis ini
lahir Di Bandung pada tanggal 1 Mei 1898. Konon beliau masuh keturunan kerabat
kerajaan Majapahit (dari garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi dari
Pajajaran (garis ibu). Kondisi masyarakat Sunda dan nusantara secara umum yang
terkurung dalam alam penjajahan Eropa ketika menimbulkan keprihatinan itulah
yang memicu keinginan beliau untuk terjun ke dunia pergerakan nasional demi
mencapai kemerdekaan.
Menurut para penganut ajaran Mei Kartawinata dimasa pergerakan
nasional beliau sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang berideologi
Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu sumber, sang
spiritualis adalah kawan diskusi Bung Karno mengenai berbagai hal yang
menyangkut politik dan ideology, termasuk mengenai ideology Indonesia bila
merdeka kelak. Kedekatan dengan kalangan Marhaenis itulah yang mendorong beliau
bersama beberapa tokoh lainnya seperti J.B.Assa mendirikan Partai Persatuan
Rakyat Marhaenis Indonesia (Partai Permai) pada tahun 1945. Nama Partai ini tentu
tidak asing bagi mereka yang mengalami dinamika politik diera demokrasi liberal
tahun 1950-an. Pada pemilu Konstituante 1955, Partai Permai berhasil
mendapatkan dua kursi dalam lembaga itu.
Selain berkecimpun dalam pergerakan politik, seperti yang telah
dibahas sebelumnya, Mei Kartawinata juga mengembangkan konsepsi spiritual yang
berbasis ajaran Sunda Wiwitan, yang ia namakan aliran Perjalanan. Aliran ini
berintikan pada tiga hal, yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan,
kemanusiaan berbasiskan persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation
building. Sebagai pedoman bagi para pengikutnya, beliau menulis beberapa
buku yang berisi hasil pemikirannya mengenai hakekat kehidupan manusia di
dunia. Salah satu buku yang terpenting adalah Budi Daya. Buku ini sering kali
dianggap sebagai kitab suci bagi para pengikut aliran Perjalanan oleh banyak
pihak, meskipun para penganut ajaran Mei Kartawinata sendiri tidak
menganggapnya demikian.
Dalam buku Budi Daya, disebutkan makna dari masing-masing sila
dalam Pancasila. Sila KeTuhanan Yang MahaESA diartikan sebagai “daya kaula”,
sila Kemanusiaan bermakna “badan kaula”, sila Kebangsaan maknanya “bakat
kaula”, sila Kedaulatan Rakyat berarti “darah kaula”, serta sila Keadilan
Sosial memiliki makna “kacukupan kaula”. Jadi dalam arti lain, peran Pancasila
dalam kehidupan berbangsa adalah sebagai pemberi kekuatan dan energy bagi
rakyat dalam mencapai kesejahteraan bersama seluruh rakyat (kacukupan kaula).
Menurut ajaran Mei Kartawinata, kekuatan untuk mencapai
kesejahteraan bersama tersebut tiada lain adalah sesuatu paduan seluruh insan
masyarakat atau masyarakat gotong royong. Hal ini serupa dengan konsepsi Bung
karno mengenai sosialisme Indonesia. Tampak adanya benang merah antara
Marhaenisme ajaran Bung Karno dengan perspektif kebangsaan dalam ajaran
Kartawinata.
Bila ditelaah, ajaran Kartawinata memang sangat sosialistis. Dalam
ajaran tersebut dianjurkan agar manusia menempuh cara hidup sosialistis yang
tidak individualis. Beliau juga mengintrodusir bentuk masyarakat sosialis yang
setiap anggota masyarakatnya harus dapat menyatukan kepentingan dirinya sebagai
individu dalam kepentingan masyarakat secara luas. Di sisi lain, kepentingan
dan potensi individu akan dilindungi dan dikembangkan oleh masyarakat. Inilah
yang menjadi artikulasi dari makna Pancasila dalam kehidupan berbangsa, ketika
setiap insan menjadi penggerak system/bangunan kemasyarakatan secara aktif dan
kreatid bagaikan darah yang menjadi penggerak atau pemberi daya bagi manusia
secara jasmaniah.
4.
Sunda wiwitan
Sunda wiwitan
merupakan sebuah agama atau kepercayaan yang melakukan pemujaan terhadap
kekuatan alam dan arwah leluhur (animism dan dinamisme) yang dianut oleh
masyarakat tradisional sunda. Akan tetapi, ada sebagian orang yang berpendapat
bahwa agama sunda wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu diatas
para dewata dan hyang dalam pantheonya yang terdapat dewa tunggal tertinggi
Maha Kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang mereka
samakan dengan Tuhan Yang MahaEsa.
Ajaran sunda
wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksakanda ng Karesian, yaitu
sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan sunda yang berisi ajaran
keagamaan dan tuntunan moral, aturan, dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini
disebut Kropak 630 oleh perpustakaan nasionak Indonesia.
5.
Kepercayaan Sunda Wiwitan
Sunda wiwitan
di lembang mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan masyarakat lainnya.
Masyarakat sunda wiwitan Lembang tidak menginginkan kepercayaan mereka disebut
agama, karena mareka menganggap bahwa agama adalah sebuah komunitas yang
memiliki perbedaan dalam melakukan ritual peribadatan, sedangkan cara ritual
mereka dengan memberikan sesajen kepada alam adalah karena menurut mereka alam
telah memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup mereka. Mereka
mengklasifikasikan dalam 4 elemen unsur alam yang kepada masing-masing elemen
itu berbeda dalam cara mereka melakukan ritual berterima kasihnya, yaitu : air,
api, tanah, dan angina. Kepada 4 elemen inilah mereka memberikan sesajen dalam
acara tertentu dengan cara yang berbeda-beda sebagai ungkapan terimakasih
mereka.
6.
Filosofi Sesajen
Sesajen adalah
singkatan dari sing-sa-ajen sa-aji sa-pangarti. Tidak hanya kelompok
penghayat saja yang melakukan ritual sesajen tersebut, tetapi juga diluar
penghayat pun bisa melakukan sesajen tersebut karena tujuan penghayat untuk
melakukan ritual tersebut, hanya mengucapkan rasa syukurnya terhadap alam.
Ritual sesajen apapun tidak lepas dari sesajen. Sesajen yang biasa digunakan
oleh masyarakat sunda wiwitan ada 13 macam, dan menurut mereka masing-masing
sesajen memiliki makna tersendiri. Diantaranya :
a)
Parukuyan
Parukuyan berasal dari kata paru yang berarti sumber atau puser.
Symbol parukuyan kendi ada yang berwarna merah, putih, kuning dan hitam.
Menurut mereka masing-masing warna memiliki arti tersendiri.
b)
Menyan/kemenyan
Menyan berasan dari kata satemen na sing nyaan yang artinya
kita harus bersungguh-sungguh dalam melakukan segala sesuatu, tidak
boleh asal-asalan.
c)
Kopi
Kopi yang mengandung rasa manis dan pahit memiliki arti yang
berarti kehidupan yang harus dilalui dengan suka dan duka. Kopi tersebut
disimpan didalam tempurung kelapa.
d)
Tempurung
kelapa
Tempurung kelapa diibaratkan sebagai kepala kita. Tepat berfikir
manusia.
e)
Rujak
tujuh warna
Rujak tujuh warna yang isinya berbagai macam buah-buahan
melambangkan dalam tujuh hari pasti merasakan berbagai macam rasa/ situasi
seperti manis, asam, asin, bahkan pahit.
f)
Kembang
tujuh warna
Kembang tujuh warna melambangkan bahwa didalam diri kita ada tujuh
panca indera, yaitu :
-
Mata
dengan penglihatannya
-
Telinga
dengan pendengarannya
-
Hidung
dengan penciumannya
-
Lidah
dengan pengecap rasanya
-
Kulit
dengan perabaannya
-
Tangan
dengan kemampuannya
-
Kaki
dengan langkahnya
Panca indera yang tujuh ini harus digunakan dengan cara saling
tolong menolong, mengayomi, dan saling membantu satu sama lain.
g)
Kelapa
muda ditambah gula merah
Kelapa
muda : kudu ngarasa, rumasa, narima, tong sarakah. (harus tau diri, manerima
segala ketentuan dan tidak boleh serakah)
Gula
merah : harus memberikan kesan yang baik kepada orang disekitar kita.
h)
Garam
Ucapan dan perbuatan kita harus memiliki manfaat baik untuk diri
sendiri maupun bagi orang lain.
i)
Puncak
manih
Puncak manih ini berupa nasi dari ketan yang dibuat seperti nasi
tumpeng diatas baskom yang diatasnya disimpan telur. Arti filosofisnya jika
kita memiliki tujuan maka kita dalam mencapai tujuan itu harus dengan tekad
yang bulat tidak boleh goyah. Ketan artinya harus kuat dalam menganut sebuah
keyakinan.
j)
Kupat
dan leupeut
Kupat yang memiliki 5 sudut yang berarti 5 poin pancasila. Leupeut
yang memiliki 4 sisi yang disatukan dalam sebuah ikatan artinya harus
menyatukan antara lahir dan batin.
k)
Tantang
angin
Tantang angin yang dibuat dari nasi yang dibungkus dengan daun
bambu (asal wiwitan). Tantang angina memiliki 3 sudut yang melambangkan saya
hidup ditengah Negara, rakyat dan pemerintah.
l)
Buah-buahan
Buah-buahan melambangkan ungkapan terima kasih kepada yang telah
memberikan kesehatan, sifat jujur, dan kebenaran. Kita harus seperti
buah-buahan yang memiliki banyak manfaat bagi orang lain.
m)
Tumpeng
Tumpeng melambangkan dalam menjalin gotong-royong, harus
benar-benar bekerja sama agar bisa terpetik hasil baiknya.
7.
Tradisi Sunda Wiwitan
Tradisi sunda wiwitan di Lembang, diantaranya :
a.
Ngaruat
lembur dalam rangka tahun baru Shaka
Ngaruat
lembur yaitu salah satu perayaan tahun
baru yang dinamakan tahun shaka, tahun saha kadalah tahun baru bagi penganut
sunda wiwitan yang dirayakan bertepetan pada setiap tanggal 1 Mei, yang mana
pada tahun 2015 ini sudah bertepatan pada tahun 1948 warsih (tahun)
b.
Ngarak
ka cai (iring-iringan) menuju kampung Seke
Arak-arakan
atau iring-iringan yang diselenggarakan oleh sunda wiwitan Lembang ini bertujuan
untuk memberikan sesajen sebagai ungkapan terima kasih kepada leluhur mereka.
Arak-arakan tersebut dimulai dari tempat ngaruat lembur menuju kampung seke. Di
kampung Seke tersebut terdapat sumber mata air yang menjadi tujuan utama mereka
dalam menyelenggarakan ritual Ngarak ka cai.
c.
Bekerja
di lading dan sawah
Tradisi ini
sebagai bentuk terima kasih kepada sang hyang atas pemberian alam yang
melimpah dan mereka memanfaatkan pemberian tersebut dengan cara bercocok tanam
setiap hari.
d.
Perayaan
17 September
Perayaan 17
September diadakan dalam rangka perayaan moment penting bagi Meikartawinata dan
tentu bagi pengikut-pengikutnya. Karena dari sanalah awal kebangkitan kembali
kesadaran akan ajaran welas asih (memandang kepada orang lain sama baiknya
seperti memandang kepada diri kita sendiri, hidup rukun dengan sesama).
e.
Ngaguar
ajaran
Ngaguar ajaran
merupakan salah satu tradisi sunda wiwitan di Lembang. Tradisi ini dilakukan
pada setiap Rabu malam Kamis yang bertujuan memberikan pengarahan atau siramah
rohani kepada penghayat dan juga kajian-kajian penghayat tentang tata cara
hidup penghayat.
8.
Peribadatan Sunda Wiwitan
Masyarakat
Sunda Wiwitan menyebut dirinya sebagai penghayat. Sebenarnya, dari dulu
juga penghayat sudah diakui oleh masyarakat lain, hanya saja mungkin karena
tertelan oleh zaman sehingga penghayat dianggap sudah hilang/punah. Dalam
penghayat tidak ada system dakwah atau penyebaran secara meluas. Penyebaran
tidak diharuskan dalam system keturunan, namun apabila dirinya merasa termasuk
suku Sunda maka hal itu sudah tidak perlu didakwahkan lagi. Oleh karena itu,
kemajuan dan kemunduran kepercayaan penghayat sangat terlihat karena tidak
adanya system dakwah tersebut.
Dalam system
peribadatan penghayat, ia mengutamakan mengungkapkan rasa terimakasih kepada
alam. Dikarenakan seluruh alam dunia tidak akan lepas dari empat unsur yang
telah disebutkan tadi. Secara tidak langsung mereka bersyukur kepada sang
pencipta yang mereka sebut ‘Gusti’ yang telah melimpahkan kekayaan alam kepada
mereka setiap harinya. Sehingga mereka bisa melangsungkan hidup dan diberikan
kesehatan disebabkan oleh alam –anggapan mereka--.
Penghayat juga
mengajarkan untuk menghormati dan menghargai orangtua, karena menurut mereka jika
bukan karna orangtua kita, kita tidak mungkin ada didunia ini. Orang tua adalah
jembatan sehingga kita bisa melangsungkan hidup hingga detik ini. Menurut BPNP
penganut penghayat diseluruh Indonesia sudah mencapao 12 juta jiwa.
Rumusan
penghayat :
-
Menghargai
alam
-
Menghargai
dunia
-
Menghargai
orang tua
-
Menghargai
leluhur, karena jika tidak ada laluhur maka tidak aka nada orang tua kita.
Perbedaan
penghayat dengan yang lain lain
1.
Penghayat
adalah suku Sunda yang diakui oleh Indonesia.
2.
Pakaian
penghayat yaitu kampret dan iket yang merupakan salah satu baju adat Jawa
Barat.
3.
Perayaan
hari raya berbeda dengan yang lain. Perayaan hari raya di Sunda Wiwitan adalah
pada tanggal 17 September, 1 Mei, 1 Syuraa, dan tahun baru shaka.
9.
Asal Usul Manusia Menurut Ajaran Sunda Wiwitan
Menurut
penghayat, manusia berasal dari 4 unsur yakni api, angin, tanah, dan air. Orang
tua hanyalah menjadi jembatan atau preantara dalam proses manusia tersebut. Dan
kembalinya pun akan ke empat elemen alam tersebut. “Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal”
kalimat tersebut menjadi nama lain dari bahasa kematian. Karena kematian dan
asalnya manusia pun sama dari empat elemen tadi. Mereka menganggap surga
hanyalah omongan kosong belaka. Menurut mereka karena kita berasal dari alam
maka akn kembali pun bukan ke surge melainkan kea lam asalnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber yaitu Kang Ayi dan
Kang Eden sebagai juru bicara masyarakat Sunda Wiwitan di Lembang dapat
disimpulkan diantaranya :
1.
Sunda
wiwitan di lembang mempunyai kepercayaan yang berbeda dengan masyarakat
lainnya. Masyarakat sunda wiwitan Lembang tidak menginginkan kepercayaan mereka
disebut agama, karena mareka menganggap bahwa agama adalah sebuah komunitas
yang memiliki perbedaan dalam melakukan ritual peribadatan, sedangkan cara
ritual mereka dengan memberikan sesajen kepada alam adalah karena menurut
mereka alam telah memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup mereka.
2.
Dalam
system peribadatan penghayat, ia mengutamakan mengungkapkan rasa terimakasih
kepada alam. Dikarenakan seluruh alam dunia tidak akan lepas dari empat unsur
yang telah disebutkan tadi. Secara tidak langsung mereka bersyukur kepada sang
pencipta yang mereka sebut ‘Gusti’ yang telah melimpahkan kekayaan alam kepada
mereka setiap harinya.
3.
Masyarakat
Sunda Wiwital Lembang memiliki tradisi tersendiri, diantaranya :
Tradisi sunda wiwitan di Lembang, diantaranya :
a.
Ngaruat
lembur dalam rangka tahun baru Shaka.
b.
Ngarak
ka cai (iring-iringan) menuju kampung Seke.
c.
Bekerja
di ladang dan sawah sebagai rasa terimakasih terhadap alam.
d.
Perayaan
17 September.
f.
Ngaguar ajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ekadjati, Edi S., 1995. Kebudayaan Sunda, Suatu Pendekatan
Sejarah. Jakarta : Pustaka
Jaya.
James, William. 1937. The Variaties od Religious Experience. New
York : Library. Inc.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta
: Rineka Cipta.
Nottingham, Elizabeth K. 1994. Agama dan Masyarakat. Jakarta
: Raja Grafindo.
O.C., D. Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta :
Konisius.
Soekanto, Soejono. 1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan
Sosial. Jakarta : Ghalia
Indonesia